• Jumat, 29 September 2023

PKSPH FH UAD: Utamakan HAM dalam Penyelesaian Konflik Rempang

- Minggu, 17 September 2023 | 18:52 WIB
PKSPH FH UAD: Utamakan HAM dalam Penyelesaian Konflik Rempang
PKSPH FH UAD: Utamakan HAM dalam Penyelesaian Konflik Rempang

BANTUL (D.I. YOGYAKARTA), SiJOGJA.com - Menyikapi konflik Negara vis a vis Masyarakat Adat Rempang dengan ini Pusat Kajian Sejarah dan Pembangunan Hukum (PKSPH) Fakultas Hukum  Universitas Ahmad Dahlan bersama dengan ahli hukum Fakultas Hukum  Universitas Ahmad Dahlan menyampaikan sikapnya sebagai berikut :

Konflik Negara vis a vis masyarakat adat rempang tidak bisa dilepaskan dari proses sejarah sebagai dasar legitimasi historis dan sosial yang seharusnya menjadi dasar legitimasi hukum.

Hal ini dijelaskan sebagai berikut :
Sejarah Pulau Rempang terikat dengan Masyarakat Adat Rempang yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat yang telah mendiami Pulau Rempang jauh sebelum berdirinya Negara Republik Indonesia yang diyakini sejak 1834.

PKSPH FH UAD: Utamakan HAM dalam Penyelesaian Konflik Rempang
PKSPH FH UAD: Utamakan HAM dalam Penyelesaian Konflik Rempang

Negara secara sepihak melakukan kooptasi dengan melakukan perluasan wilayah kawasan industri Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galang melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 1992 tanggal 19 Juni 1992.

Pada tahun 2004 terjadi perubahan konsep dari kawasan industri menjadi Kawasan Wisata Terpadu Eksklusif (KWTE) dengan ditandatanganinya persetujuan investasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Batam yang diwakili Taba Iskandar dan ditindaklanjuti dengan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Kota Batam yang diwakili oleh Nyat Kadir selaku Walikota dan PT Makmur Elok Graha (PT MEG) yang diwakili Tommy Winata dan disaksikan Gubernur Provinsi Kepulauan Riau yakni Ismeth Abdullah.

Pembangunan KWTE tidak terealisasi, pada tahun 2007 disinyalir adanya korupsi yang merugikan negara dan hasil pemeriksanaan pada tahun 2008 muncul persoalan pembebasan lahan dengan Masyarakat Adat Rempang.

KWTE kemudian terhenti, baru pada belakang muncul konsep baru bertajuk Batam-Rempang Eco City dimana PT MEG menggandeng Xinyi Group untuk membangun area seluas 17.000 ha yang merupakan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.

Hal ini ditolak oleh Masyarakat Adat Rempang dengan mengadakan aksi demo pada 11 September 2023 yang berakhir ricuh dan akhirnya 34 orang aksi ditetapkan sebagai tersangka.

Negara Republik Indonesia dibentuk untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia dalam hal ini termasuk Masyarakat Adat Rempang.

Persolan pembebasan lahan ini sudah terpendam sejak tahun 2008 tanpa ada upaya penyelesaian, namun tiba-tiba dilakukan sosialisasi terkait rencana pengelolaan 17.000 ha di Pulau Rempang.

Jika proses mediator dilakukan sejak tahun 2008 yang notabene karena proyek bermasalah, maka tidak akan muncul eskalasi konflik yang menciderai hak Masyarakat Adat Rempang.

Dalam hal ini, negara seharusnya hadir dalam rangka melindungi hak warga.

Bahkan, pada Kampanye Pilihan Presiden 2019 lalu, Joko Widodo yang saat ini menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia menjanjikan untuk mensertifikatkan lahan di Kampung Tua wilayah Kota Batam.

Halaman:

Editor: Hidayat Sijogja

Tags

Terkini

Ungkap 5 Kasus, BNNP DIY Putus Jaringan Narkoba

Jumat, 8 September 2023 | 10:23 WIB
X