SiJOGJA - Perkembangan kota tidak terlepas dari adanya pertumbuhan penduduk. Dewasa ini pertumbuhan penduduk sangat pesat ditandai dengan Data Kependudukan Semester II Tahun 2021 yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Dukcapil diketahui jumlah penduduk Indonesia sebanyak 273.879.750 jiwa. Kondisi tersebut berimbas pada tingginya akses terhadap kebutuhan-kebutuhan primer, khususnya kebutuhan lahan tempat tinggal. Tingginya permintaan lahan tempat tinggal berbenturan dengan luas lahan yang tersedia. Lahan tempat tinggal mengarah pada kelangkaan dan akhirnya lahan tempat tinggal hanya bisa didapatkan oleh orang-orang dengan kemampuan tertentu. Hal tersebut mendorong adanya pemanfaatan lahan-lahan sempit hingga lahan ilegal yang tidak layak untuk di alih gunakan sebagai alternatif tempat tinggal bagi orang dengan kemampuan rendah.. Keterbatasan akan lahan membawa konsekuensi terhadap perkembangan pemukiman, dimana masyarakat berpenghasilan rendah terpaksa tinggal lahan yang tidak layak huni. Kondisi tersebut akan menyebabkan suatu kawasan menjadi lebih buruk lagi atau yang biasa disebut dengan permukiman kumuh.
Permukiman kumuh kemudian perlu diperhatikan karena permukiman kumuh tentunya mengganggu tata ruang kota serta kenyamanan bersama. Dengan fasilitas yang dapat dikatakan tidak layak seperti sarana air bersih yang kurang memadahi, sarana jalan yang buruk, ruang terbuka yang hampir tidak ada, serta kelengkapan sarana sosial yang tidak mendukung, masyarakat akan hidup dengan sengsara. Berdasarkan data dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada tahun 2015 area permukiman kumuh tercatat mencapai 38.431 ha. Sedangkan pada tahun 2020 area permukiman kumuh mengalami peningkatan yang signifikan yaitu mencapai 86.563 ha. Kawasan permukiman kumuh meningkat lebih dari dua kali lipat
dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Dalam hal ini berarti peningkatan dari tahun 2015 hingga tahun 2020 sebanyak 25% per tahunnya. Direktur Pengembangan Permukiman Ditjen Cipta Karya merilis 5 (lima) kawasan dengan pemukiman kumuh terbesar di Indonesia yaitu (1) kawasan Belawan di Medan, (2) kawasan sungai Ciliwung di Jakarta, (3) Kota Bandung, (4) Kota Surabaya, serta (5) Kota Makasar.
Merujuk data luas permukiman kumuh di perkotaan di Indonesia dalam rentang tahun 2015 s/d 2020 yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu pemerintah berupaya untuk mengurangi permukiman kumuh untuk memberikan keadilan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut adalah meluncurkan program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku) merupakan salah satu upaya strategis Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mempercepat penanganan permukiman kumuh di perkotaan dan mendukung “Gerakan 100-0-100”, yaitu 100 persen akses air minum layak, 0 persen permukiman kumuh, dan 100 persen akses sanitasi layak. Program ini sesuai Sustainable Development Goals (SDGs) pada indikator ke-6 dan ke-11, yaitu clean water and sanitation dan sustainable cities and communities. Dengan adanya program Kotaku diharapkan dapat menjamin ketersediaan dan manajemen air dan sanitasi secara berkelanjutan serta menjadikan kota dan pemukiman penduduk yang inklusif, aman, tangguh dan berkelanjutan.
Program Kotaku telah diselenggarakan namun permasalahan terkait keberadaan permukiman kumuh masih menjadi PR bagi pemerintah. Berbagai upaya telah dilakukan namun program pengentasan permukiman kumuh di Indonesia belum maksimal dalam mengurangi kawasan permukiman kumuh. Nyatanya angka permukiman kumuh hingga saat ini masih terus meningkat. Program yang dijalankan
seringkali hanya berfokus pada pembangunan fisik saja tanpa didukung dengan adanya program berkelanjutan atau program pendorong lainnya. Tidak adanya tindak lanjut dari pemerintah pasca peningkatan kualitas permukiman mendorong kembalinya masyarakat dalam permukiman kumuh sebagai akibat dari ketidakmampuan masyarakat untuk menjaga kualitas lingkungan. Selain itu, masyarakat akan tetap terjebak dalam kondisi penghasilan yang rendah karena tidak adanya program pendukung dalam sektor ekonomi. Dibutuhkan adanya pembangunan kawasan serta lingkungan yang produktif agar masyarakat juga dapat meningkatkankualitas hidupnya. Pemerintah dapat mengembangkan dan menerapkan adanya program pembangunan berkelanjutan. Sehingga pengelolaan tata guna lahan dapat berjalan secara kontinue serta dapat mengurangi adanya program yang mangkrak dan akhirnya tidak dapat terealisasikan dan memberikan kemanfaatan. Pemerintah harus terus mengawasi jalannya setiap program agar program yang dilaksanakan dapat sesuai dengan panduan atau pedoman.
Penanganan permukiman kumuh sejatinya telah dilaksankan oleh masing- masing daerah. Akan tetapi, masih banyak daerah yang menganggap hal tersebut bukan masalah yang mendesak dan memerlukan penanganan yang segera. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu diberdayakan dengan studi pada daerah yang tingkat penanganan permukiman kumuhnya lebih baik. Pemerintah pusat juga perlu memberikan pendampingan penyusunan Rencana Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RPK3P) di kota/kabupaten. Diperlukan sinergi yang kuat antara pemerintah pusat serta antar pemerintah daerah untuk dapat mengentaskan permukiman kumuh di Indonesia. Pemerintah juga dapat lebih memasifkan program Kredit Perumahan Rakyat (KPR) yang sedang dijalankan dengan melakukan kemitraan multisektoral untuk dapat memberikan ruang tempat tinggal yang layak
bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Pada saat ini KPR di Indonesia masih terfokus kepada masayarakat yang mampu dan belum menjamah masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, masyarakat dapat memiliki temapt tinggal dengan kualitas yang layak serta memperbaiki kualitas hidupnya.***